Selasa, 21 Agustus 2007

Harumnya Aroma Kopi Ulee Kareng Khas Aceh

    Warung Kopi Ulee Kareng Khas Aceh
    Warung Kopi Ulee Kareng Khas Aceh

    Di Nanggroe Aceh Darussalam, telah menjadi tradisi bagi kaum prianya untuk menikmati kopi di warung-warung. Jumlah warung kopi di Aceh, khususnya di Banda Aceh, sangat banyak, mungkin terbanyak di Indonesia. Warung kopi di Aceh tidak sama dengan warung kopi yang ada di Pulau Jawa, karena warung kopi di Aceh bentuknya seperti restoran. Dari sekian banyak warung kopi di Kota Banda Aceh, terdapat satu warung kopi yang sangat populer dan selalu dipenuhi pengunjung dari pagi hingga malam hari, yaitu warung kopi Ulee Kareng “Jasa Ayah”. Warung kopi ini dimiliki oleh seorang pria Aceh yang bernama Nawawi. Sebelumnya warung kopi ini telah ada sejak tahun 1958, namun bukan dengan nama “Jasa Ayah”, yang dikelola oleh orang tua Nawawi, yang bernama Haji Muhammad.
    Bagi kaum lelaki Aceh, warung kopi tidak hanya sebagai tempat untuk menikmati secangkir kopi dan beberapa makanan khas Aceh lainnya, namun ia berkembang dengan fungsinya yang lebih luas, seperti fungsi sosial, yaitu sebagai tempat memperkuat ikatan solidaritas antar kelompok atau antar sahabat; fungsi politik, dijadikan tempat diskusi isu-isu politik dan pemerintahan baik tingkat lokal, nasional maupun internasional; dan fungsi ekonomi, yaitu sebagai tempat pertemuan dan lobi-lobi bisnis.

    Warung kopi “Jasa Ayah” tidak hanya populer di Aceh, namun juga di Indonesia. Kepopulerannya semakin bertambah pasca tsunami di Aceh, karena banyak pekerja nasional dan internasional yang berdatangan ke aceh. Tidak hanya media massa nasional yang memuat berita tentang kekhasan aroma dan rasa kopi “Jasa Ayah”, namun juga media internasional.

    Warung Kopi Ulee Kareng Khas Aceh


    Keistimewaan aroma dan rasanya berasal dari pengolahan kopi arabika yang jitu. Kopi itu didatangkan dari Lamno, Kabupaten Aceh Jaya. Diolah dengan cara-cara khusus dan penuh kesabaran, dan keuletan, mulai dari penyangraian (penggonsengan) hingga penggilingan. Ketika kopi itu disangrai, apinya tidak boleh terlalu besar, karena dapat menyebabkan kegosongan. Setelah itu baru kopi digiling. Pada saat kopi itu akan disajikan, ia harus diseduh dengan air mendidih agar mengeluarkan aroma yang harum hingga beberapa meter dan barulah setelah itu disaring dan siap disajikan. Umumnya pengunjung yang menikmati kopi arabika “Jasa Ayah”, menikmatinya sambil menyantap hidangan khas Aceh lainnya, seperti kue sarikaya, kue timpan, kue bolu, martabak telor, nasi gurih (nasi uduk) ataupun mie Aceh.
    Meskipun usahanya terbilang sukses dengan keuntungan bersih satu harinya hingga mencapai lebih kurang Rp. 2.000.000,00, (dalam satu bulan menghabiskan 1,5 ton kopi) Nawawi tetap memikirkan kehidupan akhirat. Semenjak peristiwa tsunami melanda Aceh, ia mulai menerapkan peraturan baru bagi pengunjung di warungnya, bagi yang beragama Islam diwajibkan meninggal warung sebelum tiba waktu adzan dzuhur, ashar, dan maghrib. Dan bagi yang tidak beragama Islam, tidak masalah untuk tetap berada di warung. Baginya kehidupan duniawi dan akhirat mesti berjalan seiring.


    Harga Kopi Ulee Kareng

    Segelas kopi dihargai Rp. 1.500,00, (Maret 2007), namun apabila pengunjung ingin menambahi susu kental, harganya menjadi Rp. 3.000,00 (Maret 2007). Di warung ini juga dijual bubuk kopi dalam bentuk kemasan beberapa ukuran, seperti 250 gram dengan harga Rp. 10.000,00 (Maret 2007). Kalau yang kemasan 1 kg dijual sekitar Rp. 60.000,00.

    Harumnya Aroma Kopi Ulee Kareng Khas Aceh


    Warung Kopi “Jasa Ayah” berada di Jalan T. Iskandar no.13-14a, Kecamatan Ulee Kareng, Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Akses menuju ke lokasi ini sangat mudah, karena Kecamatan Ulee Kareng berada di Kota Banda Aceh. Banyak angkutan umum yang lalu lalang melewati lokasi ini, seperti: taxi, becak mesin dan labi-labiLabi-labi yang melewati rute Warung Kopi Ulee Kareng adalah jurusan Ulee Kareng – Pasar Aceh. Oleh karena lokasinya di tengah Kota Banda Aceh, dengan demikian tidak sulit mencari penginapan kelas melati ataupun hotel berbintang.

Kamis, 16 Agustus 2007

Suwar-Suwir

Suwar-Suwir Oleh-oleh khas Jember
Suwar - Suwir Khas Jember

Nama penganan ini cukup unik di telinga: suwar-suwir. Meskipun demikian, jangan anggap remeh cemilan yang satu ini. Suwar-suwir justru menjadi salah satu ikon kuliner khas Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur. Selain dikenal sebagai Kota Santri dan Kota Seribu Bukit, Jember juga dikenal sebagai Kota Suwar-suwir. Pembuatan suwar-suwir menggunakan bahan dasar tape, padahal tape merupakan produksi khas Kabupaten Bondowoso yang bersebelahan dengan Kabupaten Jember. Lantas, bagaimana ceritanya hingga kemudian Jember mempunyai makanan khas berbahan dasar tape yang bernama suwar-suwir?

Menurut catatan sejarah, Jember adalah sebuah kawasan yang masih relatif muda belia bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain di sekitarnya, termasuk tetangga sebelah yakni Bondowoso. Pada masa pendudukan Belanda, tepatnya pada tahun 1798, jumlah penduduk di Bondowoso sudah tercatat lebih dari 8.000 juta jiwa. Jumlah ini melambung pada tahun 1920 di mana jumlah penduduk Bondowoso sudah mencapai angka 40.000 juta jiwa. Kenaikan jumlah penduduk Bondowoso yang terbilang signifikan ini terjadi karena adanya gelombang migrasi dari Madura. Hal yang sama juga dialami oleh beberapa tetangga Jember yang lain, semisal Besuki dan Panarukan.

Sementara itu, Jember masih berkutat dengan predikat kota sepi karena perkembangan laju jumlah penduduknya memang belum mengalami perkembangan yang berarti. Penduduk yang mendiami wilayah ini terhitung masih sangat sedikit. Sampai dengan tahun 1858 saja, penduduk yang bermukim di Jember tercatat hanya sebanyak 21.215 jiwa, dengan luas wilayah Jember yang diperkirakan seluas 3.234 kilometer persegi.

Nah, kemunculan makanan yang kemudian dikenal dengan nama suwar-suwir diperkirakan berawal dari hasil akulturasi budaya, termasuk bahan pangan, orang-orang Jember yang berkunjung ke daerah-daerah di sekitar Jember, termasuk Bondowoso yang memang sudah terkenal sebagai kawasan penghasil ketela yang merupakan bahan dasar untuk membuat tape. Tape inilah yang menjadi bahan utama pembuatan suwar-suwir yang kemudian menjadi makanan khas Jember hingga sekarang. Boleh dibilang, suwar suwir adalah salah satu dari beberapa produk akulturasi yang memiliki bentuk dan makna tersendiri karena telah melewati proses kreativitas.

Sebelum suwar-suwir berhasil diciptakan dan diproduksi, orang-orang Jember terlebih dulu berdagang singkong yang didatangkan misalnya dari Bondowoso. Industri kecil-kecilan itu kemudian berlanjut pada pengolahan ketela pohon menjadi makanan lain, seperti tape singkong. Suwar-suwir sendiri konon tercipta berkat proyek coba-coba untuk memanfaatkan sisa-sisa singkong yang ternyata cukup banyak meskipun sudah diolah menjadi tape. Pada zaman dulu, suwar-suwir juga dikenal dengan sebutan kue siwir-siwir, namun ada juga yang menyebutnya dengan nama Nangka Belanda. Sekadar catatan, Nangka Belanda adalah sebutan lokal untuk menamakan buah sirsak.

Di masa kolonial Hindia Belanda, suwar-suwir memang identik sebagai penganan bercita rasa sirsak dan menjadi kegemaran orang-orang Belanda yang ada di Jember. Mulanya, makanan ringan ini bertekstur lunak, dan untuk memakannya harus disobek kecil-kecil atau disuwir-suwir, dan kuat dugaan, dari cara inilah kemudian muncul penamaan suwar-suwir. Daging buah sirsak menjadi biang utama mengapa makanan ini lantas dijuluki sebagai suwar-suwir. Adonan olahan ketela pohon yang dicampur dengan buah sirsak jika memadat akan terlihat tekstur daging sirsaknya sehingga harus disuwir-suwir atau dicuil-cuil terlebih dulu untuk memakannya. Pada perkembangan selanjutnya, suwar-suwir mengalami modifikasi bentuk dan bertesktur lebih padat.

Sepintas ringkas, wujud suwar-suwir hampir serupa dengan dodol. Bedanya, suwar-suwir memakai tape dari ketela pohon sebagai bahan utamanya dan berwujud lebih padat ketimbang dodol yang lunak dan kenyal. Kendati terbuat dari tape, namun kesan aroma tape yang menyengat nyaris tidak terasa. Selain menggunakan tape singkong, bahan-bahan pendukung lainnya dalam pembuatan suwar-suwir antara lain buah sirsak, telur ayam dan gula. Citarasa manis suwar-suwir sederhana tetapi tetap mengena. Selain itu, masih ada paduan rasa lainnya yang meramaikan rasa unik suwar-suwir. Harmonisasi rasa manis, legit, asam, dan lembut, berpadu dalam satu kemasan suwar-suwir.

Seiring dengan perkembangan zaman yang selaras dengan permintaan pasar, suwar-suwir tidak hanya melulu menyajikan rasa sirsak. Sekarang, kita dapat menemukan suwar-suwir dengan rasa yang lebih variatif, sebut saja rasa nangka, nanas, strowberry, durian, kelapa muda, kacang hijau, bahkan keju, susu, coklat, dan berbagai macam pilihan rasa lainnya.

Meskipun tidak hanya memakai daging buah sirsak lagi, tapi suwar-suwir hasil modifikasi tetap bisa disuwir-suwir. Rasanya pun tidak kalah nikmat dengan suwar-suwir yang versi orisinil, tetap manis dan legit di lidah. Salah satu keistimewaan suwar-suwir adalah cara pembuatannya yang masih manual, belum menggunakan mesin yang justru dimungkinkan bisa merusak citarasa aslinya. Namun, meskipun belum mengenal teknologi mesin modern dan tidak bersentuhan dengan bahan pengawut, suwar-suwir tetap istimewa karena bisa bertahan hingga 9 (sembilan) bulan lamanya.

Tempat Jualan Suwar-Suwir

Suwar-suwir sudah menjadi ikon kuliner Kabupaten Jember, Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah sulit bagi Anda untuk menemukan makanan tradisional ini di Jember. Suwar-suwir mudah sekali ditemukan di toko-toko yang banyak terdapat di seantero Kota Jember, terlebih lagi di sentra penjualan oleh-oleh khas Jember. Selain itu, Anda juga dapat membeli jajanan khas ini di pasar tradisional maupun di supermarket yang ada di Jember dan sekitarnya. Harap dicatat, sekarang ini suwar-suwir telah dijual dalam berbagai macam kemasan dan beragam pilihan merk dagang.

Harga Suwar-Suwir

Harga suwar-suwir mengalami situasi yang tidak menentu tergantung peningkatan atau penurunan harga bahan baku dan bahan pendukungnya. Namun, jika diambil angka rata-rata, harga perkilogram suwar-suwir adalah antara Rp15.000 – Rp20.000.